Friday 15 April 2022

Pertama kali: naik KRL

Peron di lantai 2 Stasiun Manggarai

"There is a first time for everything."

Ada banyak hal yang baru bagi kita, termasuk naik kereta rel listrik (KRL). Kira-kira 6 tahun yang lalu, ketika mengerjakan tugas akhir di Lab. R&D Pertamina Pulogadung, saya pertama kali naik KRL. Usiaku waktu itu sudah 22 tahun, tapi baru pertama naik KRL. Ya bagaimana lagi, lagi-lagi di Kabupaten Nganjuk tempatku dilahirkan dan dibesarkan tidak ada yang namanya KRL.

Saya pertama kali ke Jakarta ketika usia sudah bukan kanak-kanak lagi. Kaget, kagum, heran, takut, campur aduk jadi satu. Semua terasa berbeda, terlihat berbeda. Waktu berlalu begitu cepat, kadang malah terasa terlalu cepat. Udaranya pun berbeda. Panas! Tempat lain atau daerah lain mungkin juga panas, tapi "rasa" panas di Jakarta itu berbeda.

Waktu semester 8 di STTN saya mengerjakan tugas akhir selama satu semester dan ngekos di Kelurahan Jatinegara Kaum, yang berjarak 2 km an dari Pertamina. Setiap hari saya naik angkot no 27 jurusan Jatinegara - Pulogadung untuk berangkat dan pulang ke Pertamina. Saya biasa menunggu angkot menuju kantor Pertamina dari jembatan penyeberangan ini, dan ketika pulang juga turun di sini (tentunya).

Jembatan penyeberangan di Jatinegara Kaum

Suatu weekend saya merasa suntuk banget dan ingin keluar. Dari situ kemudian muncul ide untuk mengunjungi seorang teman yaitu Mas Abdul Jabar (sebut saja JB) yang tinggal di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Diberikanlah koordinat kosnya (atau istilahnya share loc), dan saya naik Gojek ke sana. Hehehehe. Belum, ini belum naik KRL.

Setelah sampai di sana dan bermalam, kemudian besoknya saya dan ada satu lagi teman (Mas Farid) diajak ke kota tua. Nah, kali ini baru naik KRLnya. Kos JB dari stasiun Kemayoran sangat dekat, bisa dicapai dengan jalan kaki. Untuk ke kota tua, kami naik KRL ke stasiun Jakarta Kota. Saya telah baca beberapa artikel di internet mengenai tata cara naik KRL, yaitu dengan tap in menggunakan tiket harian berjaminan (THB), kartu multitrip (KMT), atau bisa dengan kartu-kartu uang digital (e-money, flazz, brizzi, dan tap cash). Kebetulan waktu itu saya sudah punya kartu e-money (beli di Indomaret), yang sudah beberapa kali dipakai untuk naik bus Transjakarta. Ya, jadi sudah lumayan familiar dengan tap in atau tap out.

mesin aktivator-nya seperti ini

Tapi ternyata naik KRL agak berbeda. Agar kartu-kartu bank bisa dipakai, kartu harus diaktivasi terlebih dahulu di stasiun, dengan cara menempelkannya ke mesin aktivator yang juga berfungsi untuk melihat saldo dalam kartunya. Oke, jadi saya carilah mesin tersebut. Dan ketemu. Saya tempelkan ke mesin tersebut. Kartu telah aktif dan bisa dipakai tuk tap in ke stasiun. Mesin tersebut sih kayaknya ada di setiap stasiun, coba cari yang warnanya merah seperti gambar di samping, kalau bingung tanya ke satpam saja.

*** pesan sponsor ***

Kalau kalian tidak punya kartu bank, bisa juga pakai linkaja, atau ke loket saja dan minta tiket harian berjaminan (THB) atau kartu multitrip (KMT). Untuk memakai THB, pelanggan dikenai biaya jaminan (sesuai namanya) sebesar Rp. 10ribu. Sebutkan stasiun tujuan, nanti kita akan dimintai uang sebesar sejauh mana jarak dari stasiun asal ke tujuan tersebut plus jaminan Rp 10ribu. Nanti jaminannya bisa diambil lagi di stasiun tujuan dengan menukarkan kembali THB kita di sana. Atau kalau mau nyimpen kartunya juga bisa sih, gak usah dikembalikan tapi 10ribu kita tadi melayang. Dulu sih semua stasiun menyediakan THB ini, gak tau kalau sekarang, di era COVID-19 ini sepertinya mulai mengurangi pembayaran tunai seperti itu. Kalau KMT, saya tidak begitu mengerti karena tidak punya dan tidak pernah pakai. Tapi dengar-dengar harganya 35ribu dengan isi saldo 10ribu (jadi kartunya doang itu 25ribu).

Sekadar info saja, tarif KRL adalah 3000 rupiah untuk 25 km pertama (dulu 3000 rupiah untuk 30 km pertama), dan 10 km selanjutnya ditambah 1000 rupiah. Jadi misal jarak perjalananmu ke stasiun tujuan 0-25 km, akan dikenakan tarif 3000 rupiah saja. 26 - 36 km 4000 rupiah. dst.

***

Setelah kartu teraktivasi dan Mas JB serta Mas Farid telah selesai mengantre tuk mengambil THB, kami pun masuk dan menunggu di peron jalur 2 tuk menuju ke stasiun Kampung Bandan. Hari masih pagi, kami sarapan Roti O yang dijual di stasiun, sambil menunggu keretanya datang.

Keretanya datang juga. Karena masih pagi, jadi masih sangat sepi, di satu kereta hanya berisi kami bertiga. Seperti ini ternyata KRL, batinku. Pelajaran pertama: tidak seperti kereta jarak jauh, ternyata di KRL tidak ada toilet. Kalau mau pakai toilet, harus turun dulu ke stasiun terdekat. 

Saya dan JB di kota tua, 27 Maret 2016.
Sampailah kami di stasiun Kampung Bandan yang hanya berjarak 2 stasiun dari stasiun Kemayoran. Selanjutnya kami transit ke stasiun Jakarta Kota, yang hanya 1 stasiun dari stasiun Kampung Bandan. Hari masih pagi, atau kalau kata orang-orang golden hour. Jadi semuanya terlihat lebih menarik untuk difoto. Kami turun dari Stasiun Jakarta Kota dan menuju ke kawasan kota tua. Itu adalah kedua kalinya saya ke sana. Saya pertama kali ke sana pas studi ekskursi saat semester 6 silam. Ternyata dekat sekali dari stasiun Jakarta Kota, hanya beberapa ratus meter saja dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Setelah melihat-lihat, berfoto, dan gak ngapa-ngapain, kami "sarapan" lagi. Karena di Indonesia ini kalau belum makan nasi dianggap belum makan, jadi kami sarapan sop (masih) di kawasan kota tua. Setelah kenyang, kami lalu ke Museum Bank Indonesia yang juga jaraknya tak terlalu jauh.

Itu adalah pertama kalinya saya ke Museum Bank Indonesia. Tiket masuknya kalau gak salah 5000 rupiah per orang. Sangat terjangkau. Museum BI berisi tentang sejarah BI (tentu saja), kemudian sejarah uang dan kegiatan perbankan secara umum. Di sana juga terdapat koleksi uang dari berbagai negara, sampai koleksi berbagai uang rupiah dari zaman kolonial. Saya ingin berkunjung ke sana lagi, tapi sayangnya selama pandemi COVID-19 ini museumnya tutup. Jadi kunjungan itu adalah pertama dan (sampai saat ini) terakhir kalinya. Sedih banget.

Setelah puas berjalan-jalan, kami pulang kembali ke kos JB. Dan itu adalah kedua kalinya saya naik KRL, hehe. Sesampainya di kos JB, kami beristirahat sebentar, solat, makan siang. Kemudian saya kembali ke kosan di Jatinegara Kaum, dengan Gojek lagi. Belum naik KRL tuk ketiga kalinya. Hehe

***

Itu tadi adalah pengalaman pertama kali naik KRL yang biasa saja, karena memang biasa. Bagi yang pertama kali naik KRL memang sedikit membingungkan, termasuk saya dulu ketika naik KRL yang ketiga kalinya (yaitu pas naik sendiri). Bingung ketika melihat peta/rute KRL pertama kalinya. Sebenarnya sih tidak se-membingungkan itu. Saya masih sering melihat di Google Maps dan klik opsi transit, atau tanya ke seorang teman yang memang asli Jakarta (lahir dan besar di Jakarta).

Peta rute KRL Jabodetabek

Meski demikian, KRL adalah salah satu mode transportasi publik yang sangat bisa diandalkan. Buktinya, selalu rame lho, apalagi di jam-jam sibuk (peak hour). Kalau kalian baru pertama kali naik KRL dan masih bingung, bingung naik yang jurusan mana, bingung naik dari jalur berapa, atau bingung-bingung yang lain, tidak usah malu-malu untuk tanya ke satpam. Mereka sangat welcome kok. Saya kalau pas bingung juga selalu nanya ke satpam.


Tangerang, 15 April 2022
Akan diteruskan dengan pertama-pertama yang lainnya.




No comments:

Post a Comment