Tuesday 12 April 2022

"Mau turun mana pak?"


Kata orang: "Kita adalah bangsa yang penuh basa-basi," yang tidak selalu bermakna jelek, tentu saja. Entah rasanya kayak "gatel" saja gitu kalau gak basa-basi. Baik di lingkungan tetangga, di transportasi umum, bahkan pas ngantre di suatu acara atau event yang lama dan panjaaaang banget.

Satu kalimat tanya "mau turun mana, pak?" itu saja bisa berbuntut sangat panjang tentang anak si bapak yang cuma supir taksi blubet tapi anaknya kuliah di UGM dengan beasiswa! Bisa berbuntut om-om yang bercerita tentang pentingnya belajar bahasa Inggris sejak dini dan perjuangannya dari keluarga miskin hingga bisa lulus S2 dari Israel! Bisa berbuntut kisah mas-mas yang sebentar lagi akan berangkat ke Maroko untuk kuliah. Dan berbagai buntut lain telah ku dengarkan dari pertanyaan itu.

Memang manusia adalah makhluk yang senang bercerita, terutama cerita tentang diri sendiri atau keluarga (anak utamanya). Seperti cerita di atas, seorang ayah (atau ibu) bisa sangat antusias ketika menceritakan keberhasilan anaknya. Bisa berjam-jam sampai mulut berbuih dan tak akan bosan, walaupun si pendengarnya sudah lumayan jengah mendengarkannya.

Di lain waktu, ketika pertanyaan "mau turun mana, pak?" itu terlontar, bisa berbuntut sangat panjang karena si penanya dan penjawab ternyata berasal dari daerah yang sama! Beberapa kali ku perhatikan, ada yang awalnya duduk saling minding their own business menjadi sangat talky kepada orang asing di sampingnya hanya karena kesamaan daerah asal. Mereka bisa bercerita tentang kesibukan di Jakarta, tentang seseorang di daerahnya yang ternyata masih ada hubungan dengan orang di sebelahnya yang dari tadi hanya cemberut dan (lagi-lagi) minding their own business. Wajah sumringah menjadi merekah, bahasa yang tadinya kaku dan formal menjadi cair dan kasual. Semua karena berasal dari daerah yang sama. Dan dipicu oleh satu  pertanyaan singkat "mau turun mana, pak?"

Itu tentu ada kaitannya dengan naluri dasar manusia. Kata para ahli, kita Homo sapiens adalah makhluk yang tribalistik. Artinya kita cenderung untuk lebih percaya kepada sesama kawanan kita. Kita lebih percaya kepada sesama keluarga, dibanding orang asing. Ketika di suatu daerah asing, kita lebih percaya kepada orang-orang yang sama asalnya dengan kita. Ketika di luar negeri (mungkin) kita akan lebih percaya kepada orang-orang satu negara asal. Dan seterusnya. Naluri tribalistik ini yang banyak dimanfaatkan oleh pedagang. Di Jabodetabek, tak jarang pedagang akan langsung mengajak kita bicara dalam bahasa daerah (dan sudah beberapa kali saya alami sendiri). Tujuannya apa? Ya untuk menarik simpati, menumbuhkan rasa percaya (trust) dari konsumennya. Inti dari perdagangan (trade) itu kepercayaan (trust), bukan? Ketika si pedagang tiba-tiba berbicara daerah (alih-alih bahasa Indonesia), maka kemungkinan terburuknya kira-kira apa? Pembeli gak ngerti, jadi dia akan ulangi dalam bahas Indonesia. Kemungkinan terbaiknya? Pembeli akan kembali, dan jadi langganan, karena naluri tribalistik itu tadi.


Tangerang, 12 April 2022 
Eh kok agak kurang nyambung ya



No comments:

Post a Comment