Monday 11 April 2022

Berpikir sebagai kolonialis dalam "Teh dan Pengkhianat"

Beberapa hari sebelum mulai puasa, saya pergi ke Gramedia. Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat, hujan ringan turun ketika saya dalam perjalanan ke sana. Tidak deras banget sih, jadi saya pikir tidak perlu harus memakai jas hujan. Eh ternyata lumayan bikin basah juga. Ya sudahlah ya, saya pikir kalau sudah masuk toko nanti akan kering.

Seperti selayaknya orang masuk Gramedia, saya melakukan ritual berputar-putar dulu, sok-sokan ngecek sana sini, bolak-balik membaca beberapa halaman buku yang pembungkus plastiknya terbuka.

Lalu langkah kaki ini terhenti. Hmm, ada satu buku yang menarik. Dari sampulnya terlihat kalau buku itu bergenre fiksi sejarah. Teh dan Pengkhianat judulnya, karangan Iksana Banu. Buku itu tipis, hanya 176 halaman, dengan harga yang hanya 60 ribu rupiah. Karena tidak ada contoh yang telah terbuka sampul plastiknya, tapi sepertinya bagus... ya sudahlah, saya bayar dan pulang. Dan rupanya hujan juga telah reda.

Saya baru sadar kalau buku Teh dan Pengkhianat itu ternyata adalah kumpulan cerpen, bukan novel. Hiks, sudah dibeli baru nyadar. Ada 13 cerita pendek yang masing-masing panjangnya berkisar 5-10 halaman, dan "Teh dan Pengkhianat" adalah salah satu judul cerpen di dalamnya. Pada masing-masing cerpen, terdapat gambar ilustrasi yang membantu memvisualisasikan imajinasi pembaca. Buku ini berlatar waktu pada saat jaman kolonial Belanda, dari mulai kedatangan VOC hingga setelah konferensi meja bundar yang menandakan berakhirnya pengaruh Belanda di tanah air. Kalau kebanyakan fiksi sejarah kolonial dikisahkan dari sudut pandang "yang terjajah" (yaitu pribumi/kita), Teh dan Pengkhianat ini diceritakan dari sudut pandang "sang penjajah." Selain unik, buku ini juga memberikan beberapa insight dan sudut pandang baru tentang penjajahan negara yang (katanya) beradab. "Oalah ternyata begitu tho, pantesan..." Itulah kira-kira yang saya pikirkan setelah membaca beberapa cerpen dari sana.

Ada beberapa judul yang membuat saya cukup tergelitik karena masih relevan dengan beberapa orang di era sekarang. Misalnya pada cerpen Variola, di situ kita diceritakan tentang kelompok antivaksin yang ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan. Lalu di Tegak Dunia kita diperlihatkan bahwa masih ada orang di zaman yang cenderung modern di abad ke-19 an yang masih menganggap bahwa dunia ini datar.

Sepanjang buku emosi kita seperti diaduk-aduk. Beberapa judul cerpen bercerita tentang kekejaman dan kebengisan para londo selama di tanah air, dan beberapa judul lainnya menunjukkan kepada kita sifat humane mereka. Kita ditunjukkan alasan atau lebih tepatnya pembenaran tindakan kolonialisme yang dilakukan. Bahwa mereka adalah bangsa yang "beradab" dan menjadi "saudara tua" alias "kakak yang mengayomi' bagi Hindia. Bahwa upaya-upaya untuk menjadi bangsa yang merdeka tak lebih daripada provokasi para "ekstremis" yang tidak menyukai kehidupan yang "harmonis" antara orang-orang Eropa, India, Arab, China, dan Pribumi. Bahwa sekat-sekat pemisah antar suku dan bangsa di tanah Hindia tak lebih daripada upaya untuk mempertahankan "harmonisasi" tersebut. Jawa harus berpakaian selayaknya orang Jawa, Bugis berpakaian Bugis, China berpakaian China, dan orang-orang Eropa berpakaian selayaknya orang Eropa. Kelas-kelas sosial diciptakan lagi-lagi bukan sebagai pemisah namun tuk mempertahankan harmoni. Pada salah satu judulnya kita diceritakan pula tentang seorang tentara Belanda yang "mengkhianati" negaranya sendiri karena melihat penderitaan pribumi. Dan pada yang bagian lain lagi kita diceritakan mengenai orang-orang sipil yang "tidak tahu menahu" mengenai invasi dan kekejaman pemerintah mereka, dan bagaimana kelanjutan hidup mereka setelah Konferensi Meja Bundar selesai, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia pada akhirnya diakui oleh pemerintah mereka. Berbagai sudut pandang dari sang penjajah disajikan dengan apik di sini.

Pada akhirnya, kita pun diajak berpikir. Dulu, orang-orang Belanda yang mati-matian mempertahankan Hindia dengan slogan "Onze Indie" (Satu Hindia), menganggap bahwa Hindia tak akan mampu berdiri sendiri, tidak cukup "dewasa" sebagai sebuah bangsa. Kurang ini, kurang itu... Nah, coba kita refleksikan sendiri dengan keadaan kita saat ini. Slogannya mungkin tidak persis sama, tapi keyakinan dan ideologinya... *redacted*

Akhir kata, kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu adalah salah satu buku yang sangat layak tuk dibaca oleh para pecinta fiksi sejarah, khususnya sejarah kolonial. Ditambah lagi dengan sudut pandang dari sang penjajah, yang mengajak kita tuk berpikir bersama, "jangan-jangan kita lah ...*redacted* "


Tangerang, 11 April 2022

Eh sudah hari ke berapa ini puasanya?




No comments:

Post a Comment